Rambusolo’ dilaksanakan secara besar-besaran karena menurut anggapan masyarakat
Toraja bahwa upacara ini merupakan penghormatan terakhir kepada sang Almarhum
serta bertujuan untuk menghormati dan menghantarkan arwah orang yang meninggal
dunia menuju alam roh, yaitu kembali kepada keabadian bersama para leluhur
mereka di sebuah tempat peristirahatan.
Masyarakat
Toraja menganut "aluk" atau adat yang merupakan kepercayaan, aturan,
dan ritual tradisional ketat yang ditentukan oleh leluhurnya. Meskipun saat
ini, mayoritas masyarakat Toraja memeluk agama Protestan dan Katolik atau
sejenis agama lainnya tetapi tradisi-tradisi leluhur dan upacara ritual masih
terus dikembangkan. Namun, masyarakat Toraja saat ini menjalankan adat
disesuaikan dengan agamanya lepas dari keaslian adat.
Masyarakat
Toraja membuat pemisahan yang jelas antara upacara dan ritual yang terkait
dengan kehidupan dan kematian. Hal ini karena ritual-ritual tersebut terkait
dengan musim tanam dan panen.
Ada
beberapa tingkatan upacara rambu solo’ yang ditentukan oleh status sosial
(Tana’) orang yang meninggal dan kemampuan, sebagai berikut : 1. Disilli’ yakni
upacara berlaku untuk semua kelas, yaitu orang yang meningggal tidak
disembelikan apa-apa. Akan tetapi saat
jenazah mau dimakamkan orang hanya memukul tempat makan babi sebanyak tiga kali
(didedekan palungan), dan dikubur bersama telur ayam (dipakale’pei’ tallo’) 2.
Dipasangbongi yaitu upacara pemakaman yang hanya berlangsung selama satu malam
dan hanya disembelikan dua ekor babi (ma’tangke patomaili),empat ekor babi (Dibai a’pa’) dan satu kerbau (ditedong
tungga’) 3. Dipatallungbongi yaitu upacara
yang dilaksanakan tiga hari tiga malam dengan menyembeli enam babi dan satu
sampai dua ekor kerbau. 4. Dipalimangbongi yaitu upacara pemakaman yang
dilaksanakan selama empat hari lima malam dan dipotongkan tujuh sampai sepuluh
ekor babi dan tiga sampai lima ekor kerbau. 5. Dipapitungbongi yaitu upacara
pemakaman yang dilaksanakan selama lima hari tujuh malam dan dipotongkan babi
sebanyak sebelas sampai dua puluh ekor dan enam sampai tujuh kerbau. 6.
Dirapai’ yaitu upacara pemakaman yang dilaksanakan selama enam hari dan
dipotongkan delapan sampai sebelas kerbau dan
duapuluh satu sampai empat puluh ekor babi. 7. Rapasan sundun yaitu
upacara yang dilaksanakan selama tujuh hari dan dipotongkan sebelas sampai dua
puluh tiga ekor kerbau dan empat puluh satu sampai lima puluh ekor babi. 8.
Rapasan sapurandanan yaitu upacara yang dilakukan selama delapan hari dan
dipotongkan dua puluh empat ekor kerbau keatas dan lima puluh satu sampai
seratus ekor babi.
Dalam
upacara pemakaman ada beberapa
kegiatan yang dilaksanakan sesuai dengan
tinkatan upacara tersebut, yaitu sebagai berikut :
• Ma’Tudan Mebalun, yaitu proses
pembungkusan jasad
• Melantang, yaitu proses pembuatan
pondok untuk acara pemakaman
• Mangrui’ batu, yaitu prosesi
penarikan batu atau menhir kesuatu tempat yang disebut rante
• Ma’pasa’ tedong/ ma’pasilaga, yaitu
mengumpulkan semua kerbau yang akan dipotong lalu di arak keliling, kemudian
dilanjutkan dengan acara mengadu kerbau tersebut.
• Ma’Parokko Alang, yaitu proses
perarakan jasad yang telah dibungkus ke sebuah lumbung untuk disemayamkan.
• Ma’Palao atau Ma’Pasonglo, yaitu
proses perarakan jasad dari area Rumah Tongkonan ke kompleks upacara
pemakaman kemudian dinaikkan keata
tampat persemayaman jenazah selama upacara pemakaman beralngsung yang disebut
Lakkian.
• Ma’Badong,
Ma’badong
terdiri dari dua kata yaitu Ma’ berarti ‘melakukan’ dan “Badong” berarti sebuah
tarian dan nyanyian kedukaan berisi syair dukacita yang dilakukan di upacara
kematian di Tana Toraja dan Toraja Utara, Sulawesi Selatan. Jika Badong
ditambah dengan awalan pa’ yang berarti pelaku maka akan menjadi pa’badong
yaitu orang yang melakukan tarian dan nyanyian badong. Tarian ini dilakukan
secara berkelompok oleh pria dan wanita setengah baya atau tua dengan cara
membentuk lingkaran besar dan bergerak sambil bernyanyi.
Ma’badong dilakukan di pelataran tempat
berlangsungnya sebuah upacara rambu solo’ ,yaitu ditengah-tengah lantang
(pondok yang hanya dibuat untuk sekali pakai pada saat upacara kematian.
Pa’badong dipimpin oleh empat orang yang disebut “Indo’ badong” dan pada
umumnya menggunakan pakaian seragam hitam-hitam.
Pada saat ma’badong, semua anggota tubuh
pa’badong digerakan, seperti menggerakkan kepala ke depan dan ke belakang, bahu
maju-mundur dan ke kiri-ke kanan, kedua lengan diayunkan serentak ke depan dan
belakang, tangan saling bergandengan lalu hanya dengan jari kelingking, kaki
disepakkan ke depan dan belakang secara bergantian.
Badong
berisi tentang syair (Kadong Badong) yaitu cerita riwayat hidup dan perjalanan
kehidupan orang yang meninggal dunia, mulai dari lahir hingga meninggal. Selain
syair tentang riwayat hidup, badong pada saat upacara kematian juga berisi doa,
agar arwah orang yang meninggal bisa diterima di alam baka. Ada empat fungsi
badong, yaitu badong pa’ pakilala (badong nasihat), badong umbating (badong
ratapan), badong ma’ palao (badong berarak), dan badong pasakke (badong selamat
atau berkat).
• Ma’Dondi
Ma’dondi
adalah suatu kegiatan yang hampir sama dengan Ma’badong dengan memiliki lirik yaang mengandung makna ratapan (bating)
. Ma’dondi’ hanya dilakukan dengan duduk ditempat sedangkan Ma’badong dilakukan
dengan cara membentuk lingkaran sambl berpegangan tangan
• Ma’Randing
Tari
ma’randing merupakan tarian perang atau tarian prajurit yang ditampilkan untuk
memuji keberanian almarhum semasa hidupnya. Tari Ma’randing masih dipentaskan
dalam upacara adat Rambu Solo’. Ini
terlihat dari setiap atribut-atribut yang dipakai memiliki arti atau pesan
masing-masing yaitu baju dan celana yang terbuat dari tenunan khas Toraja,
sarung yang diselempangkan miring dari pundak sampai lutut bahkan perlengkapan
penari mulai dari tameng (balulang), tombak (doke) dan parang (la’bo), taring
(tora-tora), ekor kuda (bembe), buluh ayam jantan (bulu londong), tanduk yang
terbuat dari seng dan rumput (padang-padang). Gerakan- gerakan penari juga
memiliki makna masing-masing mulai dari gerakan biasa, gerakan tekka tallu atau
gerakan tiga langkah, dan gerakan memutar.
Atribut-atribut
yang dipakai memiliki arti atau pesan masing-masing yaitu : sarung putih yang
digunakan melambangkan falsafah kepemimpinan orang Toraja yaitu “Tallu Silolok”
yang terdiri dari dari kaya dan berani (Sugi’ na barani), pintar dan bijak
(Manarang na kinaa), menguasai ilmu “Tongkonan” (Bidah). Mahkota dan hiasannya
melambangkan keberanian. Baju adat melembangkan kebesaran. Tameng (Balulang)
melambangkan kesiapan untuk menghadapi suatu tantangan.
• Ma’lambuk
Ma’lambuk adalah kegiatan menumbuk padi di dalam lesung
kayu yang dilakukan oleh masyarakat Toraja. Kegiatan ma’lambuk biasanya juga
dilakukan dalam upacara-upacara tradisional baik upacara syukuran (Rambu Tuka')
maupun dukacita (Rambu Solo'), yang berfungsi sebagai irama yang dapat meramaikan upacara-upacara tersebut.
Kegiatan
ma’lambuk yang dilakukan dalam upacara-upacara tradisional menjadi
pertanda adanya keramaian di suatu
kampung sekaligus untuk mengundang masyarakat berkumpul. Orang yang ma’lambuk
menandakan bahwa mereka sedang mempersiapkan beras yang akan dikonsumsi pada
upacara yang akan dilaksanakan.
• Ma’katia
Tarian duka tradisional untuk menyambut tamu pada
upacara pemakaman golongan bangsawan. Para penari memakai pakaian seragam
dengan topi kepala (sa’pi).
• Ma’Papanggan
Kegiatan
yang dilakukan untuk menyambut tamu
dengan membawa siri pinang sebagai tanda silaturahmi masyarakat adat Toraja
yang dilakukan oleh seluruh rumpun keluarga yang berduka diiringi suling dan
lagu duka (Pa’marakka).
• Mantunu tedong
Mantunu
tedong yaitu penyembelihan kerbau sebagai hewan kurban. Kerbau yang disembelih
dengan cara menebas leher kerbau hanya dengan sekali tebasan, ini merupakan
ciri khas masyarakat TanaToraja dan Toraja Utara. Kerbau yang akan disembelih
bukan hanya sekedar kerbau biasa, tetapi kerbau belang (Tedong Bonga) yang
harganya berkisar antara 20- 500 juta atau lebih per ekornya.
Penyembelihan
dilakukan dengan menggunakan golok. Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan
kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya jika
ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan
puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang
menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut
diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai
utang pada keluarga almarhum.
Masyarakat
Toraja mempercayai bahwa setelah kematian masih ada sebuah ‘dunia’. Dunia (
puya) tersebut adalah sebuah tempat keabadian dimana arwah para leluhur
berkumpul dan sekaligus sebagai tempat peristirahatan. Di Puya inilah, arwah
yang meninggal akan bertranformasi, menjadi arwah gentayangan (Bombo), arwah
setingkat dewa (To Mebali Puang), atau arwah pelindung (Deata). Masyarakat
Toraja mempercayai bahwa wujud transformasi tersebut tergantung dari
kesempurnaan prosesi Upacara Rambu Solo. Oleh karena itu, Rambu Solo juga
merupakan upacara penyempurnaan kematian.
Orang
yang meninggal baru dianggap benar-benar meninggal setelah seluruh prosesi
upacara ini digenapi. Jika belum, maka orang yang meninggal tersebut hanya
dianggap sebagai orang sakit atau lemah, sehingga ia tetap diperlakukan seperti
halnya orang hidup, yaitu dibaringkan di ranjang ketika hendak tidur, disajikan
makanan dan minuman, dan diajak bercerita dan bercanda seperti biasanya,
seperti saat orang tersebut masih hidup. Hal ini dilakukan oleh semua anggota
keluarga, bahkan tetangga sekitar terhadap orang yang sudah meninggal tersebut.
Maka
untuk menggenapi kematian orang tersebut, pihak keluarga harus menyelenggarakan
Rambu Solo. Rambo Solo telah menjadi kewajiban bagi keluarga yang ditinggalkan.
Arwah orang yang meninggal tidak bisa mencapai kesempurnaan di Puya tanpa
upacara Rambu Solo’. Oleh karena biaya yang tidak sedikit, maka pihak keluarga
membutuhkan waktu untuk mengumpulkan dana untuk upacara pemakaman. Biaya untuk
menyelenggarakan Upacara Rambu Solo berkisar antara puluhan juta sampai ratusan
juta rupiah. Itulah sebabnya mengapa di Tana Toraja orang yang meninggal, baru akan
dimakamkan berbulan-bulan bahkan sampai bertahun-tahun setelah meninggalnya
seseorang.
Kegiatan
yang terakhir dalam upacara adat rambu solo’ yaitu mengusung jenazah ke suatu
tempat peristirahatan tekakhir seperti Liang atau Patene seperti pada gambar berikut;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar