Total Tayangan Halaman

Senin, 24 Agustus 2015

Ini Aneka Atraksi Budaya Di Upacara Adat Rambu Solo'


TORAJA BERCERITA-- Rambu solo’ terdiri dari dua kata yaitu rambu yang berarti asap dan solo’ berarti  ke bawah. Dengan demikian Rambu solo’ adalah upacara kedukaan yang pelaksanaannya dimulai setelah pukul 12:01 ke atas karena hati setiap rumpun keluarga sedang menurun  atau berduka sesuai kepercayaan masyarakat lelulur Toraja.
Rambusolo’ dilaksanakan secara besar-besaran karena menurut anggapan masyarakat Toraja bahwa upacara ini merupakan penghormatan terakhir kepada sang Almarhum serta bertujuan untuk menghormati dan menghantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju alam roh, yaitu kembali kepada keabadian bersama para leluhur mereka di sebuah tempat peristirahatan.
Masyarakat Toraja menganut "aluk" atau adat yang merupakan kepercayaan, aturan, dan ritual tradisional ketat yang ditentukan oleh leluhurnya. Meskipun saat ini, mayoritas masyarakat Toraja memeluk agama Protestan dan Katolik atau sejenis agama lainnya tetapi tradisi-tradisi leluhur dan upacara ritual masih terus dikembangkan. Namun, masyarakat Toraja saat ini menjalankan adat disesuaikan dengan agamanya lepas dari keaslian adat.

Masyarakat Toraja membuat pemisahan yang jelas antara upacara dan ritual yang terkait dengan kehidupan dan kematian. Hal ini karena ritual-ritual tersebut terkait dengan musim tanam dan panen.
Ada beberapa tingkatan upacara rambu solo’ yang ditentukan oleh status sosial (Tana’) orang yang meninggal dan kemampuan, sebagai berikut : 1. Disilli’ yakni upacara berlaku untuk semua kelas, yaitu orang yang meningggal tidak disembelikan apa-apa. Akan  tetapi saat jenazah mau dimakamkan orang hanya memukul tempat makan babi sebanyak tiga kali (didedekan palungan), dan dikubur bersama telur ayam (dipakale’pei’ tallo’) 2. Dipasangbongi yaitu upacara pemakaman yang hanya berlangsung selama satu malam dan hanya disembelikan dua ekor babi (ma’tangke patomaili),empat ekor babi  (Dibai a’pa’) dan satu kerbau (ditedong tungga’)  3. Dipatallungbongi yaitu upacara yang dilaksanakan tiga hari tiga malam dengan menyembeli enam babi dan satu sampai dua ekor kerbau. 4. Dipalimangbongi yaitu upacara pemakaman yang dilaksanakan selama empat hari lima malam dan dipotongkan tujuh sampai sepuluh ekor babi dan tiga sampai lima ekor kerbau. 5. Dipapitungbongi yaitu upacara pemakaman yang dilaksanakan selama lima hari tujuh malam dan dipotongkan babi sebanyak sebelas sampai dua puluh ekor dan enam sampai tujuh kerbau. 6. Dirapai’ yaitu upacara pemakaman yang dilaksanakan selama enam hari dan dipotongkan delapan sampai sebelas kerbau dan  duapuluh satu sampai empat puluh ekor babi. 7. Rapasan sundun yaitu upacara yang dilaksanakan selama tujuh hari dan dipotongkan sebelas sampai dua puluh tiga ekor kerbau dan empat puluh satu sampai lima puluh ekor babi. 8. Rapasan sapurandanan yaitu upacara yang dilakukan selama delapan hari dan dipotongkan dua puluh empat ekor kerbau keatas dan lima puluh satu sampai seratus ekor babi.

Dalam upacara pemakaman  ada beberapa kegiatan  yang dilaksanakan sesuai dengan tinkatan upacara tersebut, yaitu sebagai berikut :
           Ma’Tudan Mebalun, yaitu proses pembungkusan jasad
           Melantang, yaitu proses pembuatan pondok untuk acara pemakaman
           Mangrui’ batu, yaitu prosesi penarikan batu atau menhir kesuatu tempat yang disebut rante
           Ma’pasa’ tedong/ ma’pasilaga, yaitu mengumpulkan semua kerbau yang akan dipotong lalu di arak keliling, kemudian dilanjutkan dengan acara mengadu kerbau tersebut.
           Ma’Parokko Alang, yaitu proses perarakan jasad yang telah dibungkus ke sebuah lumbung untuk disemayamkan.
           Ma’Palao atau Ma’Pasonglo, yaitu proses perarakan jasad dari area Rumah Tongkonan ke kompleks upacara pemakaman  kemudian dinaikkan keata tampat persemayaman jenazah selama upacara pemakaman beralngsung yang disebut Lakkian. 
           Ma’Badong,
Ma’badong terdiri dari dua kata yaitu Ma’ berarti ‘melakukan’ dan “Badong” berarti sebuah tarian dan nyanyian kedukaan berisi syair dukacita yang dilakukan di upacara kematian di Tana Toraja dan Toraja Utara, Sulawesi Selatan. Jika Badong ditambah dengan awalan pa’ yang berarti pelaku maka akan menjadi pa’badong yaitu orang yang melakukan tarian dan nyanyian badong. Tarian ini dilakukan secara berkelompok oleh pria dan wanita setengah baya atau tua dengan cara membentuk lingkaran besar dan bergerak sambil bernyanyi.
Ma’badong dilakukan di pelataran tempat berlangsungnya sebuah upacara rambu solo’ ,yaitu ditengah-tengah lantang (pondok yang hanya dibuat untuk sekali pakai pada saat upacara kematian. Pa’badong dipimpin oleh empat orang yang disebut “Indo’ badong” dan pada umumnya menggunakan pakaian seragam hitam-hitam.
Pada saat ma’badong, semua anggota tubuh pa’badong digerakan, seperti menggerakkan kepala ke depan dan ke belakang, bahu maju-mundur dan ke kiri-ke kanan, kedua lengan diayunkan serentak ke depan dan belakang, tangan saling bergandengan lalu hanya dengan jari kelingking, kaki disepakkan ke depan dan belakang secara bergantian.
Badong berisi tentang syair (Kadong Badong) yaitu cerita riwayat hidup dan perjalanan kehidupan orang yang meninggal dunia, mulai dari lahir hingga meninggal. Selain syair tentang riwayat hidup, badong pada saat upacara kematian juga berisi doa, agar arwah orang yang meninggal bisa diterima di alam baka. Ada empat fungsi badong, yaitu badong pa’ pakilala (badong nasihat), badong umbating (badong ratapan), badong ma’ palao (badong berarak), dan badong pasakke (badong selamat atau berkat).
 •           Ma’Dondi
Ma’dondi adalah suatu kegiatan yang hampir sama dengan Ma’badong dengan memiliki  lirik yaang mengandung makna ratapan (bating) . Ma’dondi’ hanya dilakukan dengan duduk ditempat sedangkan Ma’badong dilakukan dengan cara membentuk lingkaran sambl berpegangan tangan
           Ma’Randing

Tari ma’randing merupakan tarian perang atau tarian prajurit yang ditampilkan untuk memuji keberanian almarhum semasa hidupnya. Tari Ma’randing masih dipentaskan dalam upacara adat Rambu Solo’.  Ini terlihat dari setiap atribut-atribut yang dipakai memiliki arti atau pesan masing-masing yaitu baju dan celana yang terbuat dari tenunan khas Toraja, sarung yang diselempangkan miring dari pundak sampai lutut bahkan perlengkapan penari mulai dari tameng (balulang), tombak (doke) dan parang (la’bo), taring (tora-tora), ekor kuda (bembe), buluh ayam jantan (bulu londong), tanduk yang terbuat dari seng dan rumput (padang-padang). Gerakan- gerakan penari juga memiliki makna masing-masing mulai dari gerakan biasa, gerakan tekka tallu atau gerakan tiga langkah, dan gerakan memutar.
Atribut-atribut yang dipakai memiliki arti atau pesan masing-masing yaitu : sarung putih yang digunakan melambangkan falsafah kepemimpinan orang Toraja yaitu “Tallu Silolok” yang terdiri dari dari kaya dan berani (Sugi’ na barani), pintar dan bijak (Manarang na kinaa), menguasai ilmu “Tongkonan” (Bidah). Mahkota dan hiasannya melambangkan keberanian. Baju adat melembangkan kebesaran. Tameng (Balulang) melambangkan kesiapan untuk menghadapi suatu tantangan.
           Ma’lambuk
Ma’lambuk  adalah kegiatan menumbuk padi di dalam lesung kayu yang dilakukan oleh masyarakat Toraja. Kegiatan ma’lambuk biasanya juga dilakukan dalam upacara-upacara tradisional baik upacara syukuran (Rambu Tuka') maupun dukacita (Rambu Solo'), yang berfungsi sebagai irama yang dapat  meramaikan upacara-upacara tersebut.
Kegiatan ma’lambuk yang dilakukan dalam upacara-upacara tradisional menjadi pertanda  adanya keramaian di suatu kampung sekaligus untuk mengundang masyarakat berkumpul. Orang yang ma’lambuk menandakan bahwa mereka sedang mempersiapkan beras yang akan dikonsumsi pada upacara yang akan dilaksanakan.
           Ma’katia
Tarian  duka tradisional untuk menyambut tamu pada upacara pemakaman golongan bangsawan. Para penari memakai pakaian seragam dengan topi kepala (sa’pi).
           Ma’Papanggan
Kegiatan yang dilakukan untuk menyambut  tamu dengan membawa siri pinang sebagai tanda silaturahmi masyarakat adat Toraja yang dilakukan oleh seluruh rumpun keluarga yang berduka diiringi suling dan lagu duka (Pa’marakka).
 •           Mantunu tedong

Mantunu tedong yaitu penyembelihan kerbau sebagai hewan kurban. Kerbau yang disembelih dengan cara menebas leher kerbau hanya dengan sekali tebasan, ini merupakan ciri khas masyarakat TanaToraja dan Toraja Utara. Kerbau yang akan disembelih bukan hanya sekedar kerbau biasa, tetapi kerbau belang (Tedong Bonga) yang harganya berkisar antara 20- 500 juta atau lebih per ekornya.

 Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.
Masyarakat Toraja mempercayai bahwa setelah kematian masih ada sebuah ‘dunia’. Dunia ( puya) tersebut adalah sebuah tempat keabadian dimana arwah para leluhur berkumpul dan sekaligus sebagai tempat peristirahatan. Di Puya inilah, arwah yang meninggal akan bertranformasi, menjadi arwah gentayangan (Bombo), arwah setingkat dewa (To Mebali Puang), atau arwah pelindung (Deata). Masyarakat Toraja mempercayai bahwa wujud transformasi tersebut tergantung dari kesempurnaan prosesi Upacara Rambu Solo. Oleh karena itu, Rambu Solo juga merupakan upacara penyempurnaan kematian.
Orang yang meninggal baru dianggap benar-benar meninggal setelah seluruh prosesi upacara ini digenapi. Jika belum, maka orang yang meninggal tersebut hanya dianggap sebagai orang sakit atau lemah, sehingga ia tetap diperlakukan seperti halnya orang hidup, yaitu dibaringkan di ranjang ketika hendak tidur, disajikan makanan dan minuman, dan diajak bercerita dan bercanda seperti biasanya, seperti saat orang tersebut masih hidup. Hal ini dilakukan oleh semua anggota keluarga, bahkan tetangga sekitar terhadap orang yang sudah meninggal tersebut.
Maka untuk menggenapi kematian orang tersebut, pihak keluarga harus menyelenggarakan Rambu Solo. Rambo Solo telah menjadi kewajiban bagi keluarga yang ditinggalkan. Arwah orang yang meninggal tidak bisa mencapai kesempurnaan di Puya tanpa upacara Rambu Solo’. Oleh karena biaya yang tidak sedikit, maka pihak keluarga membutuhkan waktu untuk mengumpulkan dana untuk upacara pemakaman. Biaya untuk menyelenggarakan Upacara Rambu Solo berkisar antara puluhan juta sampai ratusan juta rupiah. Itulah sebabnya mengapa di Tana Toraja orang yang meninggal, baru akan dimakamkan berbulan-bulan bahkan sampai bertahun-tahun setelah meninggalnya seseorang.
Kegiatan yang terakhir dalam upacara adat rambu solo’ yaitu mengusung jenazah ke suatu tempat peristirahatan tekakhir seperti Liang atau Patene seperti pada gambar berikut;







Tidak ada komentar:

Posting Komentar